KRISIS INTELEKTUAL ANAK MUDA AMUNGME

Kritik terhadap Matinya Intelektual Amungm
   Ditinjau dari pemikiran Antonio Gramsci terhadap Intelektual muda di Italy

oleh; Benjamin Magal

         Dalam bukunya prison notebooks, Antonio Gramsci menjelaskan pandangannya tentang kaum intelektual pada masanya di Italia. Pada bagian awal, Antonio Gramsci menjelaskan bahwa seseorang dikatakan  berintelektual tidak harus  menjadi seorang ahli sastra, matematik, filosofi dan seniman (termasuk jurnalis). Intelektual tidak dicirikan oleh aktivitas Intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, namun oleh fungsi yang dijalankannya . 
Menurut Gramsci kaum intelektual adalah semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator  dalam sebuah lapisan masyarakat dalam satu wilayah produksi (mungkin dalam bidang politik atau sosial budaya) serta bisa melakukan dobrakan ganda (double break). Mereka bukan hanya pemikir, penulis atau seniman namun juga organisator seperti pegawai negeri atau pemimpin politik. Mereka tidak hanya berguna dalam masyarakat sipil dan negara namun dalam tingkat yang paling terkecil dalam reproduksi (ahli mesin, tukang jahit, teknisi, manajer) 
     Melihat situasi yang sama di Italy walaupun beda dalam beberapa konteks (waktu,situasi, peradabaan dan budaya). Dewasa ini, anak mudah Amungme telah mengalami krisis yang sangat mendalam terutama krisis intelektual. Banyak di antara anak mudah Amungme yang telah memperoleh gelar Sarjana (S1) dengan gelar Magister (S2) dalam berbagai bidang dengan penelitian yang beragam, namun Intelektualnya  masih sangat diragukan. Dengan gelar yang  didapat itu terkadang menjadi budak coorporate. Susah memiliki prinsip, berpegang teguh pada jalannya sendiri, dan tidak kritis terhadap apa yang di lihat dan rasakan. Mereka ini dijuluki sebagai Error Intelektual oleh Gramsci. Mereka telah mengetahui akan kebenaran (sebenarnya yang harus saya lakukan itu seperti ini) namun suka dan senang memutarbalikan fakta (dibutakan dengan kepentingan kaum proletar) lebih mengutamakan orang beradab dari pada masyarakat biasa.  Intelektual  anak muda Amungme tidak lagi peka terhadap situasi lingkungan di mana dia berada, lambat dalam merespon persoalan sosial, takut dalam mengambil keputusan dan hilangnya rasa tanggung jawab.
        Saat sekarang ini orang Amungme butuh generasi Intelektual yang sadar akan fungsinya sebagai Intelektual sejati. Banyak di antara pemuda Amungme yang telah selesai di jenjang sarjana (S1) dan memilih pulang untuk bekerja di Perusahaan (Freeport)  dan lembaga swadaya masyarakat, lembaga masyarakat adat (Lemasa dan Lemasko) bahkan banyak yang lebih memilih menganggur ketimbang melakukan sesuatu. Hampir semua berhenti di pekerjaan ideal tersebut tanpa harus berbuat sesuatu dengan realita sosial yang mereka lihat di sekitar lingkungan mereka berada padahal tugas seorang sarjana diharapkan mampu menjadi pencerah di mana dia berada. Gramsci sendiri menganjurkan  hal yang sama bagaimana seorang disebut Intelektual sejati. Contoh kasus, di Timika,tepatnya di Kwamki Baru, banyak sekali anak–anak muda menjadikan Mabuk dan permainan Judi (king)                  Sebagai kebiasan sehari- hari bahkan sampai ada yang di juluki pemabuk (oneme), padahal beberapa orang di antara mereka mempunyai keluarga yang di katakan berintelektual. Tetapi para intelektual acuh tak acuh dengan keadaan tersebut dan kebanyakan dari mereka tidak mampu membina dan mengarahkan anak-anak muda tersebut untuk berhenti dari kebiasaan mereka. Apa yang dikatakan Gramsci yaitu  double break tidak menjadi kepedulian anak mudah Amungme sekarang ini.  Dan jika di biarkan kebiasaan ini akan mengubah pola perilaku masyarakat setempat dari yang dulunya pekerja keras menjadi masyarakat yang bermalas-malasan.
       Seseorang yang bersekolah sampai dijenjang yang sangat tinggi namun tidak berdampak dan tidak mengerti fungsinya sebagai kaum intelektual, sangatlah memalukan. Banyak orang muda Amungme mengatakan dirinya sebagai seorang Intelektual sejati. Berbicara di depan media, koran, tv  dan berbagai media lainnya. Hampir semua berbicara seolah-olah mengerti dan peduli dengan kepentingan banyak orang namun pada kenyataannya hanya segilintir orang (Bigman/Menagawan) yang menikmatinya. Mereka berbicara tentang kepentingan pemekaran suatu daerah, tentang dana otsus dan berbagai hal yang “sengaja” disibukan dari Jakarta Pusat. Di balik itu semua mereka tidak tahu dan mengerti bahwa rakyat di sekitar mereka sedang perang antara suku dan perang itu kesannya dibiarkan oleh negara dan pemerintah daerah. Mereka tidak tahu bahwa struktur kehidupan masyarakat Amungme telah dirusak bahkan menuju kepunahan. Budaya yang mulai hilang terkikis globalisasi dan hilangnya identitas asli. 
       Hegemony yang dijalankan olehh Freeport telah mematikan gerakan intelektual anak mudah Amungme. Di mana telah terjadi apa yang dikatakan gramsci “Proses  hegemony itu terjadi apa bila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat,  terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.”   saat ini di masyarakat Amungme sudah terlihat sama seperti yang dialami gramsci beberapa puluh tahun lalu di Italia. Masyarakat Amungme saat ini berada dalam situasi krisis dan harap gampang. Masyarakat yang dulunya dikenal sebagai pekerja keras mau makan harus kerja kebun, banting tulang baru mendapatkan uang sekarang dengan adanya Freeport, Freeport secara berlahan – lahan telah menghegemony seluruh lapisan element masyarakat. Dana 1 % yang diberikan pada setiap suku, telah membutakan mata masyarakat untuk tidak bekerja dan bermalas-malasan dan uang yang diberikan tidak mendapat pengawasan dan kontrol yang baik sehingga banyak ketimpangan dan penyalagunaan dalam penggunaan dana. Ditambah lagi dengan dana Otonomi khusus (Otsus) yang diberikan oleh Jakarta pusat serta kebijakan 1 miliar untuk 1 desa di Indonesia. Membuat hilangnya kesadaran Intelektual anak muda Amungme sehingga tidak mampu berpikir apa-apa lagi dan hidup bermalas-malasan. 
      Sikap kritis terhadap permasalahan daerah harus lebih ditingkatkan untuk saat ini. Sampai kapankah kita harus berdiam diri? Sampai kapankah kita terus di ninabobokan? Tentu itu menjadi pertanyaan bagi kita semua sebagai kaum Intelektual. Di sinilah fungsi dan peran Anak muda Amungme sebagai intelektual sejati harus diperlihatkan.. Sekarang ini  kita berada dalam arena permainan yang dipermainkan oleh kaum bermodal (Freeport). Kita diharapkan mampu bertindak dengan gaya intelektual kita sendiri seperti yang di idealkan oleh Gramsci. Mampukah kita berdiri dengan prinsip kemasyarakatan? Dan Mampukah kita tidak ikut dalam arena permainan “lingkaran setan” kaum kapitalis? (that’s our kolektif reflektion).
         Kita tidak perlu bercita – cita tinggi, toh jika ilmu yang didapat nantinya  tidak bermakna dalam kehidupan. Hal ini akan menjadi beban moral seumur hidup kita. Kita hanya perlu membangun kembali kesadaran disegala bidang (politik, sosial, budaya, ekonomi, dll..) dan melalui reformasi moral serta membangun basis intelektual yang menyeluruh, dan kita harus menciptakan kelas intelektual kita sendiri bukan kelas intelektual yang diciptakan oleh kaum kapitalis lewat pendidikan formal. Dalam pendidikan formal kita tidak sepenuh diajarkan untuk kritis, kita diajarkan untuk bagaimana menjadi sahabat dari “mereka”. Kita harus  membangun sekolah sekolah rakyat yang nantinya berpihak pada kaum lemah, kaum - kaum yang tersingkir dalam realitas kehidupan.

Referensi :
 1. Simon Roger, 2004;hlm 7 dan 141
 2.Hasil Observasi Penulis dikwamki baru,  12 juli 2015 
sejak kecil penulis dibesarkan di Kwamki baru  dan banyak mengamati fenomena sosial yang sangat dinamis.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRONOLOGI PROSES PEMILIHAN REKTOR UKSW PERIODE 2017-2022

PEMBINA MENGAKHIRI POLEMIK PEMILIHAN REKTOR UKSW TAHUN 2017